Entri Populer

Kamis, 21 Oktober 2010

Upacara Pemakaman Ala Toraja, antara Pemenuhan Adat dan Rasionalisasi Ekonomi

Indonesia adalah negeri yang unik, mengapa ? sebab negeri ini memiliki berbagai macam suku dari berbagai daerah. Indonesia bukanlah negeri Arab yang mayoritas di huni oleh ras Arabi, juga bukan Iran yang sebagian besar penduduknya Persia. Melainkan sebuah negeri multi etnik, multi budaya, dan multi ideologi. Dari wilayah sabang di ujung timur Indonesia sampai Marauke di Sudut barat nya, Indonesia di huni oleh beragam etnik masyarakat. Tak heran sampai muncul propaganda “Bhinneka Tunggal Ika” yang di promosikan pemerintah, tentu dengan tujuan terikatnya etnik-etnik itu di bawah paying raksasa bernama Indonesia.
Dari Pulau Jawa yang kita tempati, coba kita alihkan perhatian kita kea rah utara, kea rah di mana pulau bernama Sulawesi berada. Didalamnya terdapat sebuah kota berbudaya khas, yakni Makassar. Kota asalh makanan bernama coto Makasar ini memiliki suatu etnik unik di dalamnya, tak lain adalah etnik Toraja.
Etnik Toraja, banyak dari masyarakatnya tinggal di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan. Suku yang di huni mayoritas pemeluk Kristen ini di perkirakan memiliki populasi sebanyak 650.000 jiwa, dan sebagian dari mereka tinggal di tana Toraja. Kata Toraja itu sendiri berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti “orang yang berdiam di negeri atas”. Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909. Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari.
Etnik Toraja di kenal akan sifat “individualism desa”nya, sebab pada dasarnya, desa-desa di etnik Toraja di anggap berbeda satu sama lain, walau akar mereka adalah sama, yakni Toraja. Hal demikian di buktikan lewat perbedaan dialek-dialek, hierarki sosial dan ritual yang di jalani antar desa.
Teluk Tonkin, terletak antara Vietnam utara dan Cina selatan, dipercaya sebagai tempat asal suku Toraja. Telah terjadi akulturasi panjang antara ras Melayu di Sulawesi dengan imigran Cina. Awalnya, imigran tersebut tinggal di wilayah pantai Sulawesi, namun akhirnya pindah ke dataran tinggi.
Sejak abad ke-17, Belanda mulai menancapkan kekuasaan perdagangan dan politik di Sulawesi melalui Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Selama dua abad, mereka mengacuhkan wilayah dataran tinggi Sulawesi tengah (tempat suku Toraja tinggal) karena sulit dicapai dan hanya memiliki sedikit lahan yang produktif. Pada akhir abad ke-19, Belanda mulai khawatir terhadap pesatnya penyebaran Islam di Sulawesi selatan, terutama diantara suku Makassar dan Bugis. Belanda melihat suku Toraja yang menganut animisme sebagai target yang potensial untuk dikristenkan. Pada tahun 1920-an, misi penyebaran agama Kristen mulai dijalankan dengan bantuan pemerintah kolonial Belanda. Selain menyebarkan agama, Belanda juga menghapuskan perbudakan dan menerapkan pajak daerah. Sebuah garis digambarkan di sekitar wilayah Sa’dan dan disebut Tana Toraja. Tana Toraja awalnya merupakan subdivisi dari kerajaan Luwu yang mengklaim wilayah tersebut. Pada tahun 1946, Belanda memberikan Tana Toraja status regentschap, dan Indonesia mengakuinya sebagai suatu kabupaten pada tahun 1957.
Misionaris Belanda yang baru datang mendapat perlawanan kuat dari suku Toraja karena penghapusan jalur perdagangan yang menguntungkan Toraja. Beberapa orang Toraja telah dipindahkan ke dataran rendah secara paksa oleh Belanda agar lebih mudah diatur. Pajak ditetapkan pada tingkat yang tinggi, dengan tujuan untuk menggerogoti kekayaan para elit masyarakat. Meskipun demikian, usaha-usaha Belanda tersebut tidak merusak budaya Toraja, dan hanya sedikit orang Toraja yang saat itu menjadi Kristen. Pada tahun 1950, hanya 10% orang Toraja yang berubah agama menjadi Kristen. Pada tahun 1930-an, terjadi konflik-konflik antara penduduk Muslim di dataran rendah dengan orang Toraja. Akibatnya, banyak orang Toraja yang ingin beraliansi dengan Belanda berpindah ke agama Kristen untuk mendapatkan perlindungan politik, dan agar dapat membentuk gerakan perlawanan terhadap orang-orang Bugis dan Makassar yang beragama Islam. Antara tahun 1951 dan 1965 setelah kemerdekaan Indonesia, Sulawesi Selatan mengalami kekacauan akibat pemberontakan yang dilancarkan Darul Islam, yang bertujuan untuk mendirikan sebuah negara Islam di Sulawesi. Perang gerilya yang berlangsung selama 15 tahun tersebut turut menyebabkan semakin banyak orang Toraja berpindah ke agama Kristen.
Pada tahun 1965, sebuah dekret presiden mengharuskan seluruh penduduk Indonesia untuk menganut salah satu dari lima agama yang diakui: Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha. Kepercayaan asli Toraja (aluk) tidak diakui secara hukum, dan suku Toraja berupaya menentang dekret tersebut. Untuk membuat aluk sesuai dengan hukum, ia harus diterima sebagai bagian dari salah satu agama resmi. Pada tahun 1969, Aluk To Dolo dilegalkan sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.

Mungkin terbesit pertanyaan bagi pembaca, mengapa penulis memilih Etnik Toraja sebagai bahasan dalam tulisan ini ?
Toraja, sebagai sebuah etnik yang kental akan adat, tampak memiliki persinggungan dengan zaman masa kini yang membuat adat yang di milikinya menjadi bertentangan. Dalam tulisan ini, penulis ,mencoba menyoroti prosesi pemakaman adat di Toraja. Sifat adat dari prosesi itu menimbulkan banyak Gugatan yang ironisnya muncul dari keturunan Toraja itu sendiri.
Dalam adat yang berlaku, ketika seorang keturunan Toraja wafat, maka keluarga duka yang ditinggal di wajibkan untuk menggelar “pesta” yang besar untuk mengenang ia yang wafat. Adat yang seperti itu memunculkan gugatan-gugatan, mereka banyak yang merasa keberatan dengan beban besar yang diterima, sebab mengadakan “pesta” itu membutuhkan biaya yang tergolong besar, bisa mencapai ratusan juta rupiah. Tak heran, sebab di wajibkan bagi anggota keluarga yang ditinggal menyiapkan kerbau sebanyak 24 ekor untuk di sembelih, belum lagi bayaran untuk pekerja yang membangun tempat bagi pelayat. Keberatan-keberatan itu muncul dari pemikiran mengapa harta yang dimiliki keluarga tidak ditabung atau di gunakan saja untuk masa depan ? mengapa malah menghaburkan uang untuk orang yang sudah tiada ? bagi mereka yang merasa keberatan, tentunya akan di dera rasa ironi, ketika suatu keluarga di Toraja di tinggal mati oleh Ayahnya,yang merupakan tulang punggung keluarga, yang merupakan orang yang mencari uang untuk biaya hidup, namun ketika wafat, sang ayah malah membuat anggota keluarganya “menderita’ dengan mengeluarkan uang yang sangat besar untuk prosesi pemakamannya.
Prosesi pemakaman di Toraja merupakan suatu yang sakral.prosesi ini tak ubahnya upacara kematian di Toraja. Dan tentunya, selain bersifat sakral, ritual ini juga dikenal memiliki biaya yang teramat mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama aluk (agama adat yang di anut masyarakat Toraja), hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ribuan orang dan berlangsung selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah.
Upacara pemakaman ini terkadang baru digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman. Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya.
Kerbau adalah hewan yang berperan penting dalam prosesi pemakaman di Toraja. Mengapa ? sebab kerbau yang di jadikan patokan “kemeriahan” upacara adat yang di jalani, seorang yang menyembelih kerbau dalam jumlah yang banyak akan di anggap sebagai orang terhormat di sana. Namun dalam prosesi pemakaman ini, di tentukan harus 24 kerbau lah yang harus di sembelih dalam prosesi ini. Saking berharganya kerbau ini, ia di jadikan patokan penilaian terhadap barang dan jasa. Fungsi ini sama halnya dengan mata uang, ya, kerbau tak ubahnya mata uang di Toraja, kita dapat membeli rumah dengan membayar beberapa ekor kerbau. Secara umum, masyarakat Toraja mengenal kerbau dengan mengklasifikasikannya menjadi beberapa jenis. Yakni kerbau Bonga (kerbau belang), Pudu (kerbau hitam biasa), dan Bulan (Albino). Kerbau jenis Bonga adalah yang termahal harganya, kerbau jenis ini di wajibkan untuk di sembelih dalam prosesi pemakaman. Sementara jenis Albino hamper jarang di sembelih, sebab ada hal tabu menyelimutinya. (saroengallo. 2008:111). Bisa dibilang, “peran” kerbau lah yang membuat prosesi pemakaman di Toraja menjadi sangat mahal. Wajar saja, taruhlah harga minimal kerbau adalah Rp 7.000.000, di kalikan dengan jumlah kerbau yang harus di sembelih, yakni 24 kerbau, makan akan menghasilkan harga sebesar Rp 168.000.000 ! itupun masih kerbau jenis Pudu, belum lagi dengan di hadapkan dengan kewajiban bahwa dari salah satu 24 kerbau yang harus di sembelih, harus disisipkan kerbau jenis Bonga (belang, atau kerbau bule) yang harganya selangit,bisa mencapai Rp 50-100 juta per ekor ! selain itu, biaya konsumsi untuk para tamu pun patut di perhitungkan, akan menjadi biaya yang besar, sebab prosesi pemakaman nya berlangsung beberapa hari (yang membuat sang mayit di suntikan formalin). Tak lupa konsumsi untuk para pekerja yang membangun tempat untuk para tamu, bisanya di beri asupan daging babi untuk para pekerja, dan yang terjadi pada akhirnya satu ekor babi per hari untuk konsumsi pekerja. Patut di ketahui harga satu ekor babi berkisar Rp 700.000.,-an, jumlah harga itu lagi-lagi di kalikan dengan lama pembuatan tempat untuk para tamu (yang terbuat dari kayu bambu).
Dalam adat Toraja, keluarga duka di wajibkan untuk memberi makan kepada pelayat yang datang. Biaya untuk makan para pelayat ditanggung oleh keluarga batih yang berduka dibantu keluarga besar secara bergantian. Harus di akui pula, biaya tersebut tidak murah.akan tetapi itulah bagian tata kehidupan masyarakat timur. Apalagi masyarakat Toraja. Siapapun yang datang ke rumah duka, keluarga yang berduka wajib memberi makan kepada pelayat. Kebiasaan di kampung yang masih dilestarikan sejak dahulu kala. Walaupun mereka berada di Jakarta atau dimanapun mereka berada, aturan adat itu tetap berlaku. Hal ini kemudian menjadi polemic ketika anggota keluarga Toraja meninggal di daerah di luar Toraja. Maka jenazah harus di bawa ke Toraja yang membuat makin membengkaknya biaya. Hal demikian terjadi sebab ketika seorang anggota masyarakat Toraja yang bergelar Penuluan, maka ia harus di makamkan di tanah kelahirannya. Penuluan adalah orang yang menjadi penjaga kelestarian adat istiadat. Penuluan adalah sumber hukum adat turun temurun yang berlaku di dalam masyarakat (Saroengallo, 2008:6) adat Toraja menganggap seorang yang menjadi Penuluan dengan otomatis menjadi milik seluruh masyarakat Toraja, sehingga ia harus di makamkan di Toraja.
Biaya selalu menjadi topik utama dalam rapat-rapat adat yang digelar baik di Toraja maupun di luar Toraja. Bagi masyarakat Toraja, saat seseorang dinyatakan wafat adalah saat keluarga batih yang ditinggalkan mulai terlibat dalam serentetan rapat adat sampai dengan jenazah dikuburkan. Bila pemakaman itu dilakukan dengan upacara adat penuh-untuk keturunan keluarga bangsawan berarti memotong paling sedikit 24 ekor kerbau-maka titik awal tersebut di atas merupakan saat masing-masing pribadi dalam keluarga batih masuk ke dalam perangkap “kewajiban” adat. Kalau sebelumnya ia mungkin terlibat secara tidak langsung dengan membantu orangtua atau kerabat dekat lain melunasi “kewajiban-kewajiban” adat mereka, maka kini ia terlibat langsung. Artinya, berhubungan langsung dengan anggota keluarga besar lain dalam bentuk “kewajiban”. (Saroengallo, 2008:39)
Hal demikian merupakan mimpi buruk bagi generasi muda Toraja yang lahir dan di besarkan di luar Toraja. Dalam prosesnya menjadi dewasa, mereka melihat orangtua mereka mati-matian bekerja di perantauan menghidupi keluarga, mereka juga melihatt bagaimana orangtua juga mati-matian membantu mencari biaya untuk prosesi pemakaman di kampung halaman mereka. Tidak jarang permintaan bantuan itu terasa sebagai ronrongan tak kunjung padam yang membuat mereka merasa orangtua mereka lebih mementingkan sanak keluarga di kampung ketimbang anaknya sendiri (Saroengallo,2008:39)
Pada saat itu,tentunya kita bisa melihat terjadinya “dilemma” sosial dalam masyarakat Toraja.mereka bingung antara mau mengikuti adat leluhurnya atau mencoba menggugatnya, mengingat adat yang ada malah menyakiti mereka. hal demikian kemudian mengarah kearah ranah ekonomi. Prosesi pemakaman yang menuntut biaya besar membuat terjadinya kondisi ekonomi yang morat-marit. Banyak dari anggota Toraja yang memboongkar semua tabungan untuk masa depannya demi terpenuhinya syarat-syarat dalam prosesi pemakaman.
Dilemma sosial ini di rasakan langsung oleh Tino Saroengallo, ia adalah seorang keturunan Toraja. Ia mengalami langsung masa-masa sulit ketika dikenakan “kewajiban” mengurus prosesi pemakaman. Dalam masa kecilnya, ia menuturkan bahwa ketika ayahnya menyelesaikan suatu transaksi besar, ayahnya pasti kemudian pergi ke Toraja. Sepulangnya dari sana, Tino mendengar cerita ayahnya tentang upacara adat yang baru dia hadiri. Ketika salah seorang saudara kandungnya meninggal, ayahnya pasti akan menjual sebidang tanah miliknya. Tentunya tidak melalui perantara ataupun makelar tetapi langsung kepada pembeli. Tino kemudian mendengar ayahnya menjual tanah, pergi ke Toraja selama kurang lebih satu bulan, dan pulang dalam keadaan bangkrut (lagi).
Kondisi yang sulit tersebut ditambah dengan kenyataan bahwa ayahnya ternyata juga menjadi penyandang dana utama dalam beberapa prosesi pemakaman. Tino menambahkan beban membiayai itu layaknya sebuah “salib” yang ia pikul selamanya.
Pada akhirnya, beban untuk membiayai prosesi pemakaman pun jatuh kepada Tino Saroengallo,pada akhirnya, ayahnya wafat. Dan ia pun merasakan kebingungan dalam mencari dana untuk upacara kematian ayahnya. Apalagi ayahnya wafat ketika dirinya dalam keadaan ekonomi yang sedang morat-marit. Ia sedikit lega dengan pembayaran biaya rumah sakit yang untungnya di bayarkan oleh saudara-saudaranya. Namun kepalanya seakan mau pecah ketika harus mencari uang untuk membayar Catering. Untuk rumah sakit, catering dan tenda di hari pertama saja ia sudah keluar uang Rp 17.500.000. dan dia akan menjadi semakin mau pecah kepalanya ketika mengingat kewajiban menyembelih kerbau sebanyak 24 ekor.
Keadaan yang menegangkan itu membuat munculnya masalah yang terjadi dalam hubungan antar keluarga itu sendiri.anggota keluarga rebut membicarakan soal “kewajiban”. Bahkan kakak sepupu jenazah sampai mengeluhkan tentang kematian ayah Tino. Sebab ia mati ketika keadaan ekonomi keluarga sedang lesu.
Pada akhirnya, Tino Saroengallo menghabiskan dana sebesar Rp. 1.100.000.000 (satu miliar seratus juta rupiah), angka yang cukup fantastis yang dikeluarkan bagi “si mati”. Muncullna ironi dalam benak Tino yang cukup menyesakkan, bagaimana mungkin dana sebesar itu dikeluarkan hanya untuk “mengurus” orang yang sudah mati ? sebab dana sebesar itu pastinya akan lebih berguna bagi manusua yang masih hidup, untuk pembangunan Toraja misalnya. Tino membayangkan dana untuk Prosesi pemakaman itu digunakan untuk investasi pembangunan. Tentunya akan membuat Toraja semakin maju. Tidak seperti sekarang yang kondisi fisik Toraja tidak berubah dari tahun ke tahun. Suatu ketika Tino di wawancarai oleh seorang wartawan. “bagaimana jadinya jika anggota keluarga menolak melakukan upacara kematian ? adakah hukumannya ?”, Tino pun menjawab :”perasaan bersalah akan menghantui mereka”. orang yang tidak mau melakukan upacara kematian akan dihantui perasaan bersalah seumur hidupnya. Bisa juga ia di kucilkan di Toraja.
Prosesi pemakaman di Toraja memang unik, ia tidak hanya bernuansa penuh spiritualitas, tetapi ia juga mengandung gejolak sosial dan ekonomi didalamnya. Gejolak itu bisa seperti usaha untuk menjauh dari adat leluhurnya. Gugatan-gugatan yang dilancarkan dan lain sebagainya. Prosesi pemakaman itu memang adalah sebuat adat, dan kita mengetahui bahwa suatu adat tidak bisa di salahkan begitu saja. Sebab adat adalah sesuatu yang bersifat subjektif, bagi penganutnya, hal itu adalah wajar dan sudah mengakar dalam diri, namun bagi orang luar (atau orang Toraja yang di besarkan di luar Toraja) hal demikian adalah tidak logis dan tidak efektif. Yang pasti, perlu kebijakan yang baik dalam menyikapi ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar